SEJARAH TUAN SUMERHAM DAN RAMBE DENGAN TOGA SIMAMORA
Dimulai dari Toga Sumba, mempunyai anak dua orang yaitu Toga Simamora
dan Toga Sihombing. Toga Simamora memperistri putri dari keluarga
Saribu Raja, sedangkan Toga Sihombing memperistri putrid dari Siraja
Lottung, Toga Simamora, mempunyai anak dari hasil perkawinannya dengan
putri dari keluarga Saribu Raja*, bernama Tuan Sumerham, dan seorang
putri Si Boru Aek So Hadungdungan mempunyai cacat buta.
*Catatan:
1. selama ini telah terjadi kekeliruan dalam menyebutkan Marga istri
Ioga Simamora dengan menyebutkan boru Saribu Raja, hal itu beberapa kali
dialami oleh marga Rambe, untuk mencari Hula-Hula Saribu Raja.
Sedangkan marga keturunan Sariburaja sekarang ini adalah yang masuk
dalam group Borbor.
2. Sejarah Silsilah toga Marbun, mengatakan “……..laos dibaen ma
nasida nasapariban i marhombar balok………..” berdasarkan pernyataan ini,
kalau kita lihat di Tano Tipang Bakkara, harajaon Toga Simamora
berbatasan dengan harajaon Toga Marbun.
3. Dalam sejaranh silsilah Marbun,Toga Marbun merupakan pomparan Toga
Nai Pospos kakak adek dengan Tuga Sumba. Istri Toga Marbun dalam
sejarah tersebut, adalah boru Pasaribu.
Berdasarkan refrensi tersebut diatas, maka Istri pertama Toga
Simamora adalah Boru Pasaribu, pomparan dari Saribu Raja. Sedangkan Toga
Sihombing mempunyai istri boru Lottung ( Lottung, delapan bersaudara,
tujuh marga, satu perempuan) Dari boru Lottung lahir empat orang anak.
yaitu Silaban, Nababan, Hutasoit, Lumbantoruan.
(setelah ini keturunan keduanya menjadi marga untuk keturunan selanjutnya. Sebelumnya adalah nama)
Kemudian Toga Simamora, turun ranjang (Mangabia, manghappi) mengawini
istri dari Toga Sihombing, (apakah karena istri toga Simamora meninggal
dan suami boru Lottung juga meninggal, tidak jelas dalam sejarahnya)
Dari perkawinan yang kedua ini, lahir tiga orang anak yaitu Purba,
Manalu, Debataraja. Maka ke-tujuh marga ini (Nababan Silaban,
Lumbantoruan, Huta soit, Purba, Manalu Debataraja) merupakan satu ibu,
lain bapak.
Kita tinggalkan sejarah tersebut kita focus kepada sejarah
selanjutnya tentang Tuan Sumerham. Keturunan Toga Simamora dan Toga
Sihombing, bermukim di Tano Tipang Bakkara. Tuan Sumerham bersama tiga
orang Saudara tirinya (Purba Manalu Debataraja), tinggal serumah dan
keturunan Toga Sihombing berada serumah di tempat lain. Tuan Sumerham
memperistri putri dari keluarga marga Siregar juga cucu dari Lottung.
Kemudian sejarahnya, semuanya sudah berkeluarga.
Purba, Manalu, Debataraja masing-masing segera dikaruniai anak.
Sedangkan Tuan Sumerham dengan istrinya Tiopipian br. Siregar belum
mempunyai anak. Hal inilah salah satu yang menganjal hubungan antara
keluarga Tuan Sumerham dengan ketiga Saudara tirinya. Berbagai ejekan
dan hinaan hampir setiap hari diterima oleh oppung kita, boru Siregar
dan tetap tidak “dihailahon tondi na” Hal ini juga diselami oppung kita
Tuan Sumerham. Pada suatu saat oppung boru kita, boru Siregar memohon
kepada Tuan Sumerham, agar mereka pergi jauh dari ketiga Saudara tirinya
nya, karena boru Siregar sudah tidak tahan lagi atas ejekan dan hinaan
para istri ketiga Saudara tirinya. Akhirnya pada suatu malam hari, saat
Saudara tirinya tertidur, mereka meninggalkan Tano Tipang Bakkara dengan
terlebih dahulu mengamankan pusaka Toga Simamora yaitu,
1. Pedang sitastas nambur yang diikat oleh emas, Tetapi Sarung dari Pedang disembunyikan di Bonggar-bonggar.
2. Tombak, tangkainya (stik) di kubur di salah satu tiang rumah.
3. Pustaha (buku lak-lak).
4. Gong (ogung sarabanan) di kubur di pokok nangka silambuyak (pinasa silambuyak).
Setelah Tuan Sumerham mengamankan ke-empat barang pusaka tersebut,
maka merekapun pergi menuju suatu tempat yang belum mereka ketahui.
Sebagai acuan mereka tinggal di mana?, Oppung Tuan Sumerham
mempersiapkan sekepal tanah dari Tano Tipang Bakkar, yang akan di
bandingkan dengan tanah pilihan mereka dimana kelak akan
berdiam/tinggal. Rupanya Tuan Sumerham, masih mempunyai keyakinan, kelak
akan kembali dan mempunyai keturunan. Hal ini ditandai oleh, :”setiap
belokan Tuan Sumerham menjepitkan lidi pohon aren (pakko) dengan ujung
lidi tersebut mengarah ke arah dari mana mereka datang”
(ceritra tambahan, sesampainya mereka di bukit, untuk beristirahat,
karena bukit tersebut tidak cocok dengan tanah yang mereka bawa lalu
bergegas untuk melanjutkan perjalanan, ternyata, sanggul /konde oppugn
boru kita tertinggal di sana, maka disebut Dolok Sanggul. Setelah
menuruni bukit tadi, mereka beristirahat sambil mencocokan tanah yang
mereka bawa. Ternyat tidak cocok juga maka mereka kembali bergegas
melanjutkan perjalanan. Rupanya tongkat Oppung boru Siregar yang terbuat
dari bambu, ketinggalan ditempat mereka istirahat. Maka tempat itu
dinamakan Sibuluan)
Tibalah mereka (Tuan Sumerham dan Tiopipian br Siregar) di suatu
tempat pebukitan, yang kita kenal sekarang bernama “LOBU TONDANG”
Pebukitan tersebut sangat cocok dan pas dengan tanah yang mereka bawa
dari Tipang Bakkara. Mereka pun tinggal di sana. Dipelataran Lobu
Tondang, terdapat sebuah pohon, yang disebut pohon rambe, yang setiap
saat berbuah banyak. Tidak mengenal musim, kembang dan buah matang silih
berganti setiap saat. Itu sebabnya buah matang tidak pernah kosong dan
lumayan banyak. Rasanya manis asam dan lebih dominant rasa manisnya
kalau sudah matang sempurna. Buah inilah yang menjadi makanan mereka
setiap hari, ditambah dengan hasil berburu, sebelum hasil tani mereka
panen. Sedikit ke lereng pebukitan tersebut, terdapat mata air yang
keluar dari Batu sangat segar dan jernih, menjadi sumber air bersih dan
cuci mandi bagi Tuan Sumerham dan boru Siregar.
Dalam keadaan tanah tercangkul dii areal mereka tinggal, Oppung boru
bingung, mau menanam apa? Sementara sebiji benihpun tidak mereka bawa.
Tanpa diketahui dari mana asalnya, tumbuh sebatang padi di ladang yang
merka cangkul, lalu meraka rawat dan dibuat menjadi benih, itulah asal
mula mereka bertanam padi. Penulis masih sempat memakan nasinya disebut
padi sisior berasnya merah, dan sering dikatakan orang di kampung
Pakkat, padi si Rambe. Padi tersebut punah akibat bibit padi unggul dari
pemerintah.
Ternyata buah rambe ini mungkin mempunyai khasiat**) untuk
menyuburkan kedua oppung kita Tuan Sumerham dan boru Siregar. Maka pada
suatu saat Oppung kita boru Siregar mengandung anak pertamanya. dan
seterusnya hingga mempunyai tiga orang putra dan satu orang putrid
bernama Surta Mulia br. Rambe. Anak Pertama diberi nama Rambe Toga
Purba, Anak Kedua diberi nama Rambe Raja Nalu, yang terakhir Rambe Anak
Raja dan Rambe menjadi icon ketiga anaknya dengan keyakinan, karena Buah
Rambe itulah Tuan Sumerham dan boru Siregar dapat berketurunan yang
selanjutnya menjadi marga keturunan Tuan Sumerham.
**) beberapa orang parumaen Rambe yang lama tidak mempunyai
keturunan, dengan hati yang tulus dan tekat yang murni, pergi ke Lobu
Tondang untuk memakan buah Rambe, ternyata menjadi punya anak. Ketulusan
dan kemurnian tekad serta tidak ada rasa ego dan serakah, akan
membuahkan hasil. Ini dibuktikan adanya parumaen Rambe yang serakah,
didorong oleh keinginan yang kuat, sehingga dia berpikir biarlah saya
yang berhasil, yang lain tidak perduli, maka dia gagal mempunyai
keturunan. Karena pada saat itu ada bersama dia juga parumaen Rambe,
hampir tidak kebagian dibuat yang bersikap serakah tersebut. Dan
memangis di pohon rambe tersebut. Karena seseorang kasihan, maka sebiji
rambe yang dia pegang dengan maksud untuk dimakan, akhirnya diberikan
kepada yang menangis. Ternyata dia yang berhasil punya anak.
Pertemuan Tuan Sumerham dengan Raja Tuktung Pardosi
Tempat yang dipilih Tuan Sumerham dan Br Siregar menjadi tano
tombangan mereka, ternyata masuk wilayah kekuasaan Raja Tuktung Pardosi.
Tanpa sepengetahuan Raja mereka tinggal di sana. Raja pardosi sendiri
mengawasi kerajaannya melalui benda-benda yang hanyut pada sungai yang
mengalir di wilayahnya. Dia tidak perlu menyisir wilayah untuk
mengetahui keadaan di pedalaman. Satu ketika, Raja mengamati wilayahnya
dengan emlihat yang hayut di Sungai Sirahar. Alangkah kagetnya Raja
setelah melihat, ada potongan kayu dan jerami yang hanyut di sungai
tersebut. Dengan melihat yang hanyut itu, Raja berkesimpilan, ada
penduduk gelap yang berdsiam di wilayah kekuasaanya tanpa ada laporan.
Segera raja dan pengawalnya mencari penduduk gelap tersebut untuk
dimintai keterangan dan memberi sanksi. Bertemulah Raja Pardosi dengan
Oppung kita Tuan Sumerham. Setelah pertanyaan serta berbagai penjelasan
Tuan Sumerham dan keluarga di jatuhi sanksi “harus memberikan upeti
setiap mendapatkan hasil dari pekerjaan”. Hasil buruan, harus diberi
kepala buruan kepada raja. Hasil pertanian setiap musim panen, lebih
dahulu diberikan ke Raja baru bisa di makan oleh keluarga Tuan Sumerham.
Satu hal yang menguntungkan keluarga Tuan Sumerham, Raja tidak
memberi kategori tawanan kepada keluarga Tuan Sumerham. Dengan demikian
Tuan Sumerham dapat berusaha melepaskan diri dari segala sanksi.
Lepas dari Upeti
Untuk melepaskan diri dari Upeti, (apakah karena tuntutan anaknya
atau untuk masa depan keluarganya, tentu Tuan Sumerham yang tau. Dia
membuat pekerjaan yang jitu. Sebagaimana biasa dipagi hari Tuan Sumerham
pergi melihat jebakan rusa (sambil/jorat). Dia melihat joratnya
menjebak Rusa yang sangat besar dan berbulu panjang, lalu Tuan Sumerham
meberi balankon/mahkota/bulang-bulang di kepala Rusa dengan warna Putih,
Hitam dan Merah dia atur sedemikian seolah bukan buatan manusia. Dan
bekas jejaknya dia rapikan kembali, sehingga kelihatannya belum ada yang
melihat rusa tersebut dari dekat. Tempat itu sampai sekarang disebut
Panambilan (asal kata sambil atau jorat)
Tuan Sumerham dengan segera menemui Raja Tuktung Padosi dan menceritrakan Rusa tersebut, kira-kira beginilah dialognya:
“,,,,,,,,,Yang Mulia Raja yang dihormati, mengingat perjanjian kita
saya tidak mau inkar, tetapi saya takut. Saya tidak tau apa gerangan
yang akan terjadi kelak dengan tanda-tanda hasil jebakan yang saya
dapatkan. Saya tidak berani membunuh sebelum saya tanyakan kepada Sang
Raja. Itu sebabnya saya datang,,,,,”
“,,,,,,,Ada apa rupanya Tuan Sumerham?,,,,,,,”
“,,,,,,,Raja yang saya hormati, jebakan saya mendapatkan seekor rusa
yang besar, tetapi saya takut mendekatinya, silakan kita lihat yang
mulia,,,,,,,,,,”
Berangkat lah Raja dengan panduan Tuan Sumerham ke tempat Jebakan
tersebut. Dari kejauhan Tuan Sumerham sudah menunjuk kepada rusa yang
bermahkota kain putih, hitam, dan merah. Ternyata benar yang disiasatkan
Tuan Sumerham. Sang Raja kaget melihat rusa yang bermahkota tersebut
sangat menyeramkan dan berkata; “,,,,,,,,, di ho ma na di ho!?. Mulai
saonari, unang be lean ugut ni na ni ulam. Aha pe boa-boa ni ursa I
sahat di ho ma I, ndang sahat tu au dohot harajaonhu I,,,,,,,,,,,,,”
(artinya, kaulah yang betanggung jawab atas alamat apa yang akan terjadi
oleh rusa tersebut. Jangan lah beralamat ke saya dan kerajaan saya.
Mulai sekarang tidak usah kau laksanakan sanksi sesuai perjanjian kita.)
Sejak saat itu Tuan Sumerham dan keluarga lepas dari segala upeti
kepada Raja. Mereka bebas melakukan apa saja tanpa dibebani oleh
peraturan Raja.
Raja Tuktung Pardosi, mempunyai tiga orang Putri, yang tertua mernama
Nanja br Pardosi, kedua Kirri br Pardosi, ketiga Rubi br Pardosi.
Sementara Rambe Purba, Rambe Raja Nalu, dan Rambe anak Raja sudah
berajnjak dewas, demikian juga ketiga boru Pardosi. Oleh Kuasa maha
Pencipta, mereka dipertemukan menjadi Pemuda dan Pemudi yang saling
mengikat Janji. Untuk merealisasikan janji mereka, maka Raja Tuktung
memberi syarat. Tuan Sumerham dan keluarga harus banyak/ramai menghadiri
pernikahan tersebut. Suatu hal yang sulit bagi Tuan Sumerham, mengingat
kepindahanya ke Lobu Tondang karena perlakuan Saudara tirinya yang
menyakitkan. Tetapi karena sudah merupakan syarat dari Raja, maka Tuan
Sumerham memberangkatkan ketiga anaknya untuk mengundang Saudara Tirinya
dari Tano Tipang Bakkara.
Sebelum berangkat, Tuan Sumerham memberi nasehat, pesan dan petunjuk yang harus mereka lakukan.
Mereka harus selalu mengarah kepada ujung lidi (tarugi) pohon aren yang di jepitkan pada kayudi setiap belokan.
Sesampainya mereka di sana, mereka akan di tangkap dan dipasung, kemudian pada pagi hari akan disembelih/dibunuh. (demikian lah ceritanya, dahulu, kalau ada orang yang tidak dikenal masuk kampung, ditangkap dan lalu dibunuh)
Pada saat di pasung, mereka harus melantunkan lagu berulang-ulang sambil menangis. Bahasa lagunya
Sesampainya mereka di sana, mereka akan di tangkap dan dipasung, kemudian pada pagi hari akan disembelih/dibunuh. (demikian lah ceritanya, dahulu, kalau ada orang yang tidak dikenal masuk kampung, ditangkap dan lalu dibunuh)
Pada saat di pasung, mereka harus melantunkan lagu berulang-ulang sambil menangis. Bahasa lagunya
“mago do hape horbo namulak tu barana”,
“mago do hape takke namulak tu sokkirna”,
“mago do hape jolma namulak tu hutana”
artinya suatu hal yang tidak mungkin terjadi, apabila mata kampak
kembali ke tangkainya menjadi hilang, kerbau menjadi hilang kalau kemali
kek kandang, juga manusia menjadi hilan pabila kembali ke kampong.
Tetapi itu akan terjadi pada mereka bertiga kalau tidak menayakan mereka
anak siap.
Mereka punya Namboru yang buta bernama Si Buro Aek So Hadungdungan
Tanda tanda, yang dapat mereka berikan yaitu, Ogung sarabanan dikubur di pohon nangka silambuyak dekat rumah, Tangkai tombak dikubur di kayu Pilar pertenghan Rumah Bolon, Sarung dari pedang, disimpan diplafon rumah bolon (bonggar-bonggar).
Tanda tanda, yang dapat mereka berikan yaitu, Ogung sarabanan dikubur di pohon nangka silambuyak dekat rumah, Tangkai tombak dikubur di kayu Pilar pertenghan Rumah Bolon, Sarung dari pedang, disimpan diplafon rumah bolon (bonggar-bonggar).
Tuan Sumerham memberangkatkan anaknya yang tiga dalam kekawatiran,
maka berkali-kali dipesankan agar mereka mengikuti petunjuk dan pesan
serta menjawab pertanyaan sesuai substansinya dan tidak perlu menjawab
apabila tidak ditanya.
Berangkatlah mereka bertiga dengan mengikuti lidi tarugi yang sudah
ditunjukkan Tuan Sumerham sebagai awal melangkah. Apabila mereka sudah
menemukan lidi selanjutnya mengikuti arah ujung lidi itu, sampai
menemukan lagi lidi berikutnya dan mengarah kea rah ujung lidi tersebut.
Demikian mereka menelusuri hingga sampai ke tempat tujuan.
Tibalah mereka di Tano Tipang Bakkara. Apa yang diisyaratkan Tuan
Sumerham terjadilah kepada mereka ditangkap dan dipasung ditempatkan
bawah Rumah. (Dahulu rumah batak bertiang tinggi dan dibawah sebagai
kandang ternak seperti sapid an kerbau) Pada malam hari mulailah mereka
melantunkan syair yang diajari Tuan Sumerham dengan penuh ketakutan dan
menagis, terus menerus (diandunghon), Pada tengah malam, Namborunya
mendengar andung mereka semakin di cermati semakin berdiri bulu kuduknya
lalu ia menemui Saudara tirinya yang sedang Rapat acara pembunuhan
ketiga orang itu di pagi hari. Lalu Namborunya angkat bicara.
“,,,,,,,,,,, Hamu akka hula-hulaku, atik boha tu julu uluni na mate
maup. Adong dongan tubu mu/Abang mu na mago. Atik boha dung
dipangarantoan mamoppar. Asing hubege adung nasida. Dao-daoma jea sukkun
hamu jolo nasida,,,,,” Mendengar itu, mereka pun stop rapat dan
memperhatikan dan mencermati lantunan adung mereka bertiga. Merka pun
turn dan bertanya;
“,,,,,,,,,Siapa kalian sebenarnya?,,,,,,,,”
“,,,,,,Bagaimana kami menjawab? Sedangkan kami dalam keadaan terpasung?,,”
Maka mereka di lepaskan dan diajak naik ke rumah lalu ditanyalah seperti layaknya Tamu terhormat.
“,,,,,,,,,,,kami adalah anak dari Tuan Sumerham,,,,,,,,”
“,,,,,,,,,Apa bukti kalau kalian anaknya,,,,,,,,,,”
“,,,,Ogung Sarabanan di kubur dekat pohon nangka silambuyak,,,,,,”
Lalu merka menggali pada malam itu juga. dan mereka menemukannya.
“,,,,,,Apalagi tanda yang dapat kamu berikan?,,,,,,,,,,”
“,,,,,,Tangkai tombak di kubur di tiang tengah/pilar tengah rumah bolon,,,,,,”
Merka juga langsung menggali, dan menemukannya.
“,,,,,,Apalagi,,,,,,,?”
“,,,,,,,,,,Sarung pedang ada di plapon/bonggar-bonggar rumah bolon,,,,,”
Mereka cari juga ketemu. Dan apa lagi, “,,,,,,,,kalau pustaha dibawa ke perantauan, dan ada sama bapak sekarang,,,,”
Dengan senang hati namborunya mendengar semua peristiwa itu, dalam
hatinya dia berdoa, terimakasih mula jadi nabolo hidup dan berketurunan
rupanya hula-hula saya itu. Terima kasih mula jadi nabolon, begitulah
dalah hatinya. Lalu mereka ditanya kembali.
“,,,,,,,,, Ya… kami sudah percaya, lalu apa maksud kedatangan kalian,,,,,,,?
“,,,,,,,Kami bertiga mau menikahi tiga orang putrid Raja Tuktung di
panombagan nami, tetapi raja bersyarat, kita sekeluargan harus ramai.
Maka kami datang untuk mengundang,,,,,,,”
“,,,,,,ooOOooo, ,,kami akan datang, “marhoda-hoda bakkuang, marbonceng-bonceng ihurna”,,,,,,,,,,,,,”
Mereka bertiga tidak mengerti arti dari kalimat tersebut, langsung mengucapkan terima kasih dan pamit untuk pulang.
Mereka kembali mengikuti lidi tarugi untuk pulang ke Lobu Tondang.
Merekapun melaporkan hasil kunjungan mereka mengundang Saudaranya yang
di Tano Tipang Bakkara, dan memberitahukan kalimat yang diucapkan
saudaranya, mendengar itu Raja Tuktung Kaget. Karena arti dari
“marhoda-hoda bakkuang……….” Artinya berperang. Bagi Raja Tuktung, adalah
suatu tantangan sebab sudah ditentukan hari H. undangan pun sudah
berjalan tinggal pelaksanaan. Seorang tidak mungkin membatalkan acara
yang sudah dirancang, karena menyangkut harga diri raja. Raja harus
bertanggung jawab atas apa yang sudah ditetapkan. Lalu Raja Tuktung
mempersiapkan Tentaranya untuk cegah tangkal pada pesta perkawinan
ketiga putrinya. Dengan persiapan yang sudah sangat matang, semua siap
pada posisi masingmasing sebagai pengamanan detik-detik perkawingan
putrinya, Pada waktu “sagang ari” (pukul 10.00) undangan Tuan Sumerham,
yaitu keluarga saudara tirinya, sudah menjelang tempat pesta, dengan
membunyikan kode perang ***
***menurut yang disejarahkan oleh para orang tua, bahwa, pada saat
itu ada usaha sekaligus untuk menghilangkan jejak atau sejarah adanya
Tuan Sumerham. Dengan tujuan sejarah Toga simamora hanya ada satu jalur
sejarah, yaitu Toga Simamora dan tiga anaknya Purba, Manalu, Debataraja.
Maka dalam pemikiran mereka, belum begitu banyak dengan hitung hitungan
kekutan, bahwa Tuan Sumerham dan keluarga dapat mereka lenyapkan dengan
segera. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan kekuatang tentara
kerajaan.
Kode perang tersebut langsung disambut oleh Tentara Kerajaan Pardosi,
maka mereka yang datang dari Tipang Bakkara (Saudara tiri red.) dengan
tujuan menghilangkan jejak Tuan Sumerham, tidak kesampaian. Maka mereka
dipukul mundur tunggang langgang oleh Tentara Kerajaan, kembali ke
Tipang Bakkara dengan kegagalan, yang mengakibatkan adanya marga Rambe
sampai sekarang.
Pesta perkawinan berjalan selanjutnya, tanpa ada gangguan, maka
pasangan, pasangan pengantin adalah sebagai berikut: Rambe Toga Purba
istrinya Rumbi br. Pardosi; Rambe Raja Nalu dengan istrinya Kirri br.
Pardosi; Rambe Anak Raja dengan istrinya Nanja br. Pardosi. Demikan lah
mereka hidup berumah Tangga dengan damai, namun pikiran Tuan Sumerham,
masih bekerja untuk mendirikan parhutaan bagi ketiga anaknya. Salah satu
peluang yang dapat dimanfaatkan adalah ketiga parumaennya sebagai putri
Raja yang berkuasa di daerahnya, maka Tuan Sumerham mengumpulkan ketiga
anaknya bersama istri masing-masing. Tuan Sumerham memaparkan nuansa
pemikirannya untuk masa depan mereka, dengan keberadaan mereka numpang
hidup di kerajaan Pardosi, posisi mereka sangat lemah. Peluang untuk
kembali ke Tipang Bakkara memang masih ada namun wilayah tersebut dapat
dikatakan relative sempit. Sedangkan wilayah kerajaan Pardosi, masih
sangat luas.
,,,,,,,,,, “Lalu apa yang dapat kami perbuat ?,,,,,,,,” jawab ktiga anakdan parumaennya.
,,,,,,,,,, “Masih ada peluang kalian mempunyai tanah yang luas,
sebagai kerajaan kita yang bakal kerajaan kalian bertiga. Asalkan kalian
mau menuruti apa yang saya suruh,,,,,,,”
,,,,,,,,, “Kami mau melaksanakannya demi terkabulnya cita-cita ayah,,,,,” jawab mereka bertiga sepakat.
,,,,,,,,, “Pergilah kalian “marebat” ke kampung Raja, yaitu mertua
kalian, setelah satu hari menginap, biarkanlah dulu parumaenku tinggal
disana, kalian bertiga pulanglah dulu untuk melakukan pekerjaan
sehari-hari. Bagi ketiga parumaenku tinggallah dulu disana untuk
beberapa lama, sampai ada pertanyaan dari Raja (besan Tuan Sumerham) dan
pasti akan ditanya permintaan kalian agar kembali ke keluarga
masing-masing. Nah kalian Parumaenkulah yang mengatur, seberapa luas
wilayah kerajaan kita yang kalian inginkan,,,,,,,,”
Maka mereka bertiga serta istri masing-masing pergi ke rumah Raja
Tuktung layaknya “marebat” sesuai adat kebiasaan, pengantin harus
melaksanakan mebat, setelah beberapa lama menikah**). Sesuai dengan yang
diskenariokan Tuan Sumerham, maka besok harinya ketiga anaknya pulang
dengan alasan kepada Raja untuk melanjutkan kegiatan sehari-hari demi
kehidupan mereka sebagai keluarga.
**) “marebat” dimaksud adalah “paulak une” dalam acara perkawinan
ulaon sadari,. adalah acara adat lanjutan setelah beberapa hari menikah.
Acara ini erat kaitannya dengan hukum perkawinan adat batak. Acara ini
menjadi kunci sebuah rumah tangga lanjut atau cukup sampai paulak une
tersebut. Bagi pihak parboru, acara ini paling sangat dibenci, tapi
harus dilaksanakan. Pembahasan tuntas pada hukumadat perkawinan
Bagi Raja Tuktung, keadaan seperti itu, merupakan hal yang biasa pada
perlakuan adat sehari-hari. Tetapi hari semakin bertambah hari, Raja
mulai gelisah, karena ketiga mantunya, belum juga datang untuk menjemput
istri masing-masing, sementara ketiga putrinya pun tidak bergeming
untuk berencana pulang kembali ke suami masing-masing. Tentu sebagai
Raja yang dihormati, adalah aib baginya, ketiga putrinya yang sudah
menikah, berlama-lama di rumahnya atau kampungnya. Hari bertambah hari,
tidak ada tanda-tanda dari ketiga putrinya ingin pulang ke Suami
masing-masing. Tentu hal semacam ini membuat raja semakin pusing, maka
dari pada berlama-lama, akhirnya Raja mengumpulkan mereka bertiga, dan
bertanya kenapa mereka belum berencana pulang ke suami masing-masing?
Mereka bertiga diam tidak menjawab. ,,,,,”apakah kalian mempunyai
kesalahan terhadap mertua atau suami kalian,,,,,,,,?” Merka tetap diam
tidak menjawab, sampai raja marah, mereka menyangkal
tuduhan/kekhawatiran Raja. Akhirnya raja membujuk ketiga putrinya.
,,,,,,”Apakah ada yang ingin kalian minta dari saya,,,,,,?
Mereka bertiga tersenyum, namun belum menjawab. Melihat mimik itu raja semakin yakin, kalau mereka punya permintaan,
,,,,,,,”baiklah, saya akan memberikan apa yang kalian minta, asalkan
kalian kembali ke suami masing-masing untuk mengurus rumah tangga
kalian,,,,,,,,”
Dengan serempak mereka menjawab.
,,,,,,,”Apakah janji bapak itu betul,,,,,,?
,,,,,,,,” iya,,,, akan saya penuhi, asal kalian kembali mengurus menantu saya dan keluarga kalian,,,,,”
Lalu mereka bertiga mengajak raja ke atas bukit*) dekat rumah raja.
Setelah sampai di atas, mereka mengajukan permintaan dengan berdiri
seolah membuat lengkungan menghadap kampung raja.
*) Bukit tersebut dikenal di Pakkat bernama Gotting, dan merupakan perbatasan Tano Rambe dengan Tukka harajaon Pardosi.
,,,,,Bapak,,,,! Inilah permintaan kami. Seluas mata memandang ke
belakang kami, berilah itu sebagai kerajaan kami, agar kami bertiga
mempunyai kerajaan.,,,,,”
Sebagai seorang raja, janji atau omongannya merupakan peraturan atau
undang-undang. Maka ditetapkanlah tempat berdiri mereka sebagai
perbatasan antara Negeri Rambe (kerajaan marga Rambe yang luasnya satu
kecamatan minus kerajaan pardosi, Kerajaan Simanullang) Maka batas
kerajaan Negeri Rambe, adalah Gotting kearah Tukka Barus, Parajaran
(dulu sekarang lepas krena kelemahan rambe), Kearah Parlilitan sebelum
Aek Riman, lalu dengan Marbun aliran sungai Sisira sampai ke Sibongkare,
lalu kesijarango, Sungai Sisira masuk kerajaan Rambe, kearah Timur laut
Sijarango berbatasan dengan Simatabo, kearah Timur menyusuri lembah
pegunungan Sapparungan, Sipahutu-hutu (merupakan hulu dari Sungai
sirahar yang mengalir dari Sijarango hingga ke sigorbus), Rabba Pattil
kearah Gunung Pinapan, Simbo kearah Banuarea, Batu papan, gn Tua
Jagapayung Sirandorung kemudian menelusuri pegunungan Sampuran Sipulak
dan kembali ke Gotting. Jadi jelas merupakan wilayah yang sangat luas
menjadi satu kecamatan. Setelah ketiga anak tuan Sumerham mempunyai
anak, dan Tuan Sumerham menyadari dirinya sudah tua, perlu untuk
menempatkan anak-anaknya sebagai strategi penguasaan Teritorial
ditempatkan lah Rambe Toga Purba istrinya Rubi br. Pardosi ditempatkan
di Tambok Rawang Jakhadatuon/Batugaja sebelah selatan Lobu Tondang
dengan daerah penyebaran kearah selatan, Tenggara, dan Barat daya. Rambe
Raja Nalu dengan istrinya Kirri br. Pardosi ditempatkan di Rura Parira
Sibambanon sebelah Timur Lobu Tondang, dengan daerah penyebaran
keturunannya Timur, Timur Laut dan Tenggara,. Rambe Anak Raja dengan
istrinya Nanja br. Pardosi ditempatkan di Tolping sebelah Barat Lobu
Tondang dengan daerah penyebaran keturunan daerah Barat Daya dan Barat
Laut. Daerah Utara yang dibentang oleh sungai Sisira menjadi daerah
panombangan sekaligus menjadi batas bagian Utara Negeri Rambe.
Hingga generasi ke-7 sejalan dengan kepergian keturunan Rambe Raja
Nalu ke Sipionot yang menjadi Baginda So Juangon yang menyusul bapaknya
memakai marga Rambe dan hingga di Sipiongot dan sekitarnya tetap memakai
Marga Rambe. Generasi ke 8 anak dari yang menjadi Baginda So Juangon,
juga memakai marga Rambe sampai generasi ke 9 sejalan dengan datangnya
Kappung Meman Debataraja ke Sijarango, Rambe masih eksis di Negeri
Rambe, Pakkat
Menurut penelusuran saya, bahwa keturunan Tuan Sumerham sebelum
masuknya rintisan jalan oleh Belanda ke seluruh daerah di sumatera
utara, masih memakai marga Rambe. Ini dibuktikan oleh
1. Nisan marga Manik yang terdapat di Sijarango tertulis “Op. Ganda Marimbulu Manik/br. Rambe”
2. Surat Keterangan dari pemerintah Belanda tahun 18 sekian tertulis
“Aman Sampe Rambe marhoendoelan di Pakkat Barus Hulu”. Ternyata
keturunan Aman Sampe Rambe sekarang ini memakai marga Purba
3. Marga Rambe sendiri yang tinggal di daerah selatan Sumatera Utara
(UtamanyaSipiongot dan Gunungtua sekitarnya) adalah keturunan Tuan
Sumerham dari Pakkat pada generasi 5 atau ke 7 pergi merantau ke sana
dan bermarga Rambe, hingga sekarang memakai marga Rambe.
Sejak Kapan marga Rambe menjadi Purba Manalu Debataraja di Pakkat?
(baca: Study Kasus di Sijarango, dan siapa Tuan Sumerham dan Baginda So Juangon?)
SIAPA TUAN SUMERHAM DAN BAGINDA SO JUANGON?
Oleh
(Beresman Rambe)
Dimulai dari Toga Sumba, mempunyai anak dua orang yaitu Toga Simamora dan Toga Sihombing.
Toga Simamora memperistri putrid dari kel luarga Saribu Raja, sedangkan Toga Sihombing memperistri putrid dari Siraja Lottung.
Toga Simamora, mempunyai anak dari hasil perkawinannya dengan putrid
dari keluarga Saribu Raja, bernama Tuan Sumerham, dan seorang putrid
yang buta
Sedangkan Toga Sihombing mempunyai empat orang anak dari hasil perkawinannya dengan putrid keluarga Lottung
(setelah ini keturunan keduanya menjadi marga untuk keturunan selanjutnya. Sebelumnya adalah nama)
yaitu Silaban, Nababan, Hutasoit, Lumbantoruan. Kemudian oleh Toga
Simamora, mengawini kembali istri dari Toga Sihombing, lahir tiga orang
anak yaitu Purba, Manalu, Debataraja. Maka ke-tujuh marga ini merupakan
satu ibu, lain bapak. Kita tinggalkan sejarah tersebut kita focus kepada
sejarah selanjutnya tentang Tuan Sumerham. Keturunan Toha Simamora dan
Toga Sihombing, bermukim di Tano Tipang Bakkara. Tuan Sumerham bersama
tiga orang keturunan Toga Simamora kemudian, tinggal serumah dan
keturunan Toga Sihombing berada serumah di tempat lain. Tuan Sumerham
memperistri putrid dari keluarga marga Siregar juga cucu dari Lottung.
Kemudian sejarahnya, semuanya sudah berkeluarga.
Purba, Manalu, Debataraja masing-masing segera dikaruniai anak.
Sedangkan Tuan Sumerham dengan istrinya boru Siregar belum mempunyai
anak. Hal inilah salah satu yang menganjal hubungan antara keluarga Tuan
Sumerham dengan ketiga Saudara tirinya. Berbagai ejekan dan hinaan
hamper setiap hari diterima oleh opong boru kita boru Siregar dan tetap
tidak “dihailahon tondina”
Hal ini juga diselami oppung kita Tuan Sumerham. Pada suatu saat
oppugn boru kita boru Siregar memohon kepada Tuan Sumerham, agar mereka
pergi jauh dari ketiga Saudaranya, karena boru Siregar sudah tidak tahan
lagi atas ejekan dan hinaanistri ketiga Saudara tirinya. Akhirnya di
suatu malam hari saat Saudara tirinya tertidur, mereka meninggalkan
kampungnya, Tano Tipang Bakkara dengan terlebih dahulu mengamankan
pusaka Toga Simamora yaitu,
1. Pedang sitastas nambur yang diikat oleh emas, Tetapi Sarung dari Pedang
juga dikat dengan emas, disembunyikan di Bonggar-bonggar
2. Tombak yang bermata emas, tangkainya (stik) di kubur di salah satu tiang
rumah,
3. Pustaha (buku lak-lak)
4. Gong (ogung sarabanan) di kubur di pokok nangka silambuyak (pinasa
silambuyak)
Setelah Tuan Sumerham mengamankan ke-empat barang pusaka tersebut,
maka merekapun pergi menuju suatu tempat yang belum mereka ketahui.
Sebagai acuan mereka tinggal di mana, sudah mempersiapkan sekepal tanah
dari Tano Tipang Bakkar, yang akan di bandingkan dengan tanah pilihan
mereka dimana kelak akan berdiam/tinggal.
Tibalah mereka (Tuan Sumerham dan boru Siregar) di suatu tempat
pebukitan, yang kita kenal sekarang bernama “LOBU TONDANG” dipelataran
lobu tondang, terdapat sebuah pohon, yang disebut pohon buah rambe, yang
setiap saat berbuah dan setiap saat banyak buahnya yang sudah matang.
Rasanya manis asam dan lebih terasa manisnya kalau sudah sempurna
matangnya. Buah inilah yang menjadi makanan mereka sementara sebelum
hasil tani mereka panen. Serta dilereng pebukitan tersebut, terdapat
mata air yang sangat segar dan jernih, menjadi sumber air bersih dan
cuci mandi bagi Tuan Sumerham dan boru Siregar.
Ternyata buah rambe ini mempunyai khasiat untuk menyuburkan kedua
oppung kita Tuan Sumerham dan boru Siregar. Maka pada suatu saat Oppung
kita boru Siregar mengandung anak pertamanya. dan seterusnya hingga
mempunyai tiga orang putra dan satu orang putri. Anak Pertama diberi
nama Rambe Toga Purba, Anak Kedua diberi nama Rambe Raja Nalu, yang
terakhir Rambe Anak Raja dan Rambe menjadi icon ketiga anaknya yang
selanjutnya menjadi marga keturunan Tuan Sumerham, dan sejak saat itu
Rambe semakin banyak, dan tidak mungkin tinggal di suatu tempat yaitu
Lobu Tondang.
(Sejarah pertemuan Tuan Sumerham dengan Raja Tuktung Pardosi sejarah tersendiri dalam Tulisan ini)
Maka Rambe Toga Purba istrinya Rumbi br. Pardosi ditempatkan di
Tambok Rawang Jakhadatuon/Batugaja sebelah selatan Lobu Tondang dengan
daerah penyebaran kearah selatan, Tenggara, dan Barat daya. Rambe Raja
Nalu dengan istrinya Kirri br. Pardosi ditempatkan di Rura Parira
Sibambanon sebelah Timur Lobu Tondang, dengan daerah penyebaran
keturunannya Timur, Timur Laut dan Tenggara. Rambe Anak Raja dengan
istrinya Nanja br. Pardosi ditempatkan di Tolping sebelah Barat Lobu
Tondang dengan daerah penyebaran keturunan daerah Barat Daya dan Barat
Laut. Daerah Utara yang dibentang oleh sungai Sisira menjadi daerah
panombangan sekaligus menjadi batas bagian Utara Negeri Rambe. Hingga
generasi ke-7 pemakaian marga Rambe masih eksis di Negeri Rambe, Pakkat.
Menurut penelusuran saya, bahwa keturunan Tuan Sumerham sebelum
masuknya rintisan jalan oleh Belanda ke seluruh daerah di sumatera
utara, adalah memakai marga Rambe. Ini dibuktikan oleh
1. Nisan marga manik yang terdapat di Sijarango tertulis “Op. Ganda Marimbulu
Manik/br. Rambe”
2. Surat Keterangan dari pemerintah Belanda tertulis “Aman Sampe Rambe
marhoendoelan di Pakkat Barus Hulu”. Ternyata keturunan Sampe Rambe sekarang
ini memakai marga Purba
3. Marga Rambe sendiri yang tinggal di daerah selatan Sumatera Utara (Utamanya
Sipiongot dan Gunungtua sekitarnya) Kahanggi yang bermukim di sana, membawa
marga rambe dari Pakkat, tetap memakai Rambe sampai sekarang
Setelah anak-anaknya dewasa, ketiganya mengambil istri putrinya raja Pardosi, borunya Raja Tuktung
(cerita ini saya perpendek, mengambil pokok-pokok
yang di bicarakan difacebook mudah-mudahan satu saat saya bisa menulis
sejarahnya di blog
lobu tondang sedetail mungkin)
Kalau yang bernama asli Baginda So Juangon adalah generasi ke 5 dari
Tuan Sumerham adalah dari si Rambe Anak Raja. dua bersaudara, adeknya
bernama Guru So Juangon tinggal di Pakkat Hauagong. (ini saya dapat
kemudian setelah orang sudah memutuskan kalau Baginda So Juangon dari Si
Rambe Raja Nalu) Baginda So Juangon dari si Anak Raja, menjadi dianggap
mengacaukan tarombo/stambuk
I. Tarombo/Stambuk dari Pakkat.
Gnr. 1. Tuan Sumerham/br. Siregar, mempunyai anak tiga dan satu putri yaitu:
Gnr. 2. 1. Rambe Toga Purba/Rumbi br. Pardosi (Tambok Rawang)
2. Rambe Raja Nalu/Kirri br. Pardosi (Rura Parira)
3. Rambe Anak Raja/Nanja br. Pardosi (Tolping) Putri Tuan Sumerham
yang bernama Surta Mulia br. Rambe, Menukah dengan marga Pasaribu, dan
diberi mereka Pahuseang di Sirandorung, Negeri Rambe Pakkat.
Untuk mengetahui Sundutnya Tuan Sumerham menurut versi Rambe Anak Raja, maka selanjutnya kita ambil dari Rambe Anak Raja
Gnr.2. Rambe Anak Raja/Nanja br. Pardosi mempunyai anak toga orang
Gnr.3. 1. Raja Perak Rambe Anak Raja (Lobu Hariburan)
2. Raja Mole-ole Rambe Anak Raja (Sijarango-Siambaton)
3. Tumpak Martahi Rambe Anak Raja (Huta Tonga)
Raja Perak Rambe Anak Raja Mempunyai anak dua orang
Gnr.4. 1. Tunggul Di Juji Rambe Anak Raja (merantau ke Aceh) hingga sekarang
belum ada informasi tentang keturunannya.
2. Raja Na Gurguron Rambe Anak Raja
Raja Na Gurguron Rambe Anak Raja mempunyai anak dua orang yaitu;
Gnr.5. 1. Baginda So Juangon Rambe Anak Raja dalam stambuk/tarombo yang
saya dapatkan terdapat catatan, bahwa Baginda So Juangon pergi merantau
kearah Sidempuan
2. Guru So Juangon Rambe Anak Raja
Dari Guru So Juangon, hingga generasi ke Sembilan, masing-masing hanya mempunyai satu orang keturunan.
Secara berurutan, Gnr. Ke-6 Oppu Sangga Mulana. Gnr. Ke-7, Amani
Sangga Mulana, Gnr. Ke-8, Sangga Mulana, Gnr. Ke-9, Oppu Sigurdangon,
mempunyai dua orang anak yaitu Gnr. Ke-10 1. Op. Sailan dan 2. Aman .
Catatan Penulis : ini merupakan penuangan dari yang sudah ditemukan
semata. Kemungkinan akan berkembang sesuai dengan yang ditemukan
kemudian. Sehingga bukan kebenaran mutlak, tetapi sudah dapat dijadikan
acuan terhadap perkembangan kemudian.
Pendapat dan informasi ini, diperkuat oleh statmen seorang natua-tua
kita dari Siranggason, Pakkat, pada bulan Desember 2009 yang lalu,
menyatakan; “Opponta Baginda So Juangon, ima apala hahani Oppunta Guru
So Juangon, na lao mangaranto, pinompar ni oppunta Si Anak Raja”. Nama
ini juga persis sama dengan yang ada di daerah perantauan Selatan Sumut.
Yang menjadi pertanyaan, Kalau Baginda So Juangon dari omppung kita
Rambe Raja Nalu, kenapa merobah nama, sebab pada saat di Laksa, Pakkat
kalau tidak salah bernama Satia Raja Rambe Raja Nalu. Kenapa berobah
menjadi Baginda So Juangon?
II. Tarombo/Stambuk Baginda So Juangon (dari Selatan)
Gnr. 1. Tuan Sumerham/br. Siregar, punya anak tiga orang (tidak disebut dengan seorang Putri), Yaitu;
Gnr. 2. 1. Rambe Raja Purba
2. Rambe Raja Nalu
3. Rambe Anak Raja
Diambil dari Rambe Anak Raja, mempunyai tiga orang anak, yaitu;
Gnr. 3. 1. Raja Perak Rambe
2. Raja Mole-ole Rambe
3. Tumpak Martahi Rambe
Diambil dari Raja Perak Rambe, mempunyai dua orang anak yaitu;
Gnr. 4. 1. Tunggul Di Juji Rambe
2. Raja Na Gurguron Rambe
Diambil dari Raja Na Gurguron, mempunyai dua orang anak yaitu;
Gnr. 5. 1. Baginda Raja So Juangon Rambe (di Aek Pisang)
2. Guru So Juangon Rambe (di Pakkat)
Diambil dari Baginda Raja So Juangon Rambe, mempunyai emapat orang anak yaitu;
Gnr. 6. 1. Namora Dibatu Nabolon Rambe (haruaran ni raja-raja Tano Holbung)
2. Namora Tabo Rambe (haruaran ni raja-raja Rambe Huta Somat) Sipiongot
3. Namora di Gurguron Rambe (haruaran ni raja-raja Rambe Simundol)
4. Guru Muloha Rambe (haruaran ni raja-raja Rambe Aek Suhat)
Yang memberikan Tarombo ini mengambil generasi/sundut berikutnya dari
Namora Dibatu Nabolon, mempunyai satu orang anak yaitu;
Gnr. 7. 1. Jalaga Rambe mempunyai empat orang anak yaitu;
Gnr. 8. 1. Japanggulmaan Rambe.
2. Badu Soman Rambe.
3. Simundol Rambe.
4. Jaonan Rambe.
Dari generasi/sundut ke-8 ini, diambil dari Japanggulmaan dan Jaonan
Rambe. Japanggulmaan mempunyai 5 orang anak, yaitu;
Gnr. 9. 1. Jatanduk Rambe.
2. Jahulembang Rambe (Aek Tangga).
3. Akal Rambe.
4. Jalius Rambe.
5. Alias Rambe.
Anak dari Jaonan Rambe ada 5 orang yaitu;
Gnr. 9. 1. Jahobuk Rambe.
2. Mulia Rambe.
3. Jarupat Rambe.
4. Japanggulapak Rambe.
5. Adil Rambe.
Untuk generasi/sundut ke-10, diambil dari generasinya Japanggulmaan
Yaitu; Jatanduk Rambe, mempunyai dua orang anak yaitu;
Gnr. 10.1. Rokkaya Inganan Rambe.
2. Jatumbasan Rambe. (sungai Pining)
Jahulembang Rambe mempunyai 5 orang anak yaitu;
Gnr. 10.1. Jamanahan Rambe (Sungai Pining).
2. Cair Muda Rambe (Sungai Pining).
3. Jamarmasuk Rambe (Sipotang Ari).
4. Marasia Rambe (Bondar Sito).
5. Jasayas Rambe (Bonandolok).
Anak dari Jalius Rambe (sungai Pining), dua orang yaitu;
Gnr. 10.1. Markus Rambe (sungai Pining)
2. Japarnantian Rambe (Sungai Mangambat)
Anak dari Alias Rambe satu orang yaitu;
Gnr. 10.1. Raja Ona Rambe. Dst.
Catatan Penulis: 1. Tarombo ini dituangkan dari tarombo yang saya
simpan. Semata-mata bukan yang paling benar, tetapi pling tidak menjadi
acuan, atau bandingan terahadap temuan kemudian. Kalau ada perbedaan
dengan tarombo yang menjelaskan tentang Baginda So Juangon, tentu ini
menjadi bahan pertimbangan dan pemikiran bagi Marga Rambe bukan untuk
mengacaukan garis keturunan kahanggi.
2. Satu nama oppung kita yang tidak dilanjutkan garis keturunannya,
bukan berarti tidakpunya keturunan. Hanya saja, dalam dokumen yang saya
simpan, nama dalam stambuk tersebut tidak dilanjutkan. Tetapi secara
garis besar tarombu sudah ada di sana dan tinggal menyambung kepada nama
yang sama dalam tarombo yang kita pegang masing-masing.
Kalau nama itu Glr. Baginda So Juangon adalah hal yang lumrah mengambil nama
oppungnya sama-sama Rambe. Sebab Satia Raja adala Generasi ke-7 dari
Tuan Sumerham. Informasi lain yang perlu dipertimbangkan bahwa saya
mendapatkan tarombo dari selatan di Jakarta, juga sama dengan dokumen
yang saya simpan. Dan tarombo itu menurut yang punya sudah turun
temeurun sampai ke dia.
Lalu yang menjadi patokan para orang tua yang disosialisasikan ke
generasi sekarang adalah bahwa Baginda So Juangon berasal dari Si Rambe
Raja Nalu. Tetapi informasi dari generasi muda Rambe melalui jejaring
social, ada yang mengatakan generasi ke-5 dari Tuan Sumerham, dan ada
yang mengatakan generasi ke-7. Tentu informasi ini dari para orang tua
Rambe juga. Mungkin juga orang tua mereka. Saya sendiri sudah
menelusurianya, dari catatan yang ada atau pernyataan yang bersangkutan,
diakui sama-sama Baginda So Juangon walau dalam pengetahuan mereka
berbeda generasi. Kalau dikatakan Baginda So Juangon generasi ke-5, maka
beliau dari Rambe Anak Raja dan yang mengatakan itu adalah Rambe
keturunan Anak Raja. Kalau dikatakan Baginda So Juangon itu adalah
generasi ke-7 maka yang mengatakan itu adalah Rambe keturunan dari Raja
Nalu. Dan hasil penelusuran tersebut diiakan oleh salah seorang mereka
dari satu oppung, bahwa Keturunan dari Rambe Raja Nalu yang “menyusul”
ke Sipiongot, adalah bernama Satia Raja Rambe Raja Nalu yang
meninggalkan seorang istri boru Pane dan seorang putra di Laksa, Pakkat.
dan Satia Raja sendiri generasi ke 7 dari Tuan Sumerham.
(Catatan : Kata menyusul di sini adalah adanya saudara yang sudah
lebih dahulu tinggal di sana lalu kemudian di ikuti yang lain kemudian
dalam satu marga)
yang menjadi pertanyaan kenapa menjadi Baginda So Juangon? atau
mungkin glr. Baginda So Juangon ? Kenapa tidak tetap memakai nama Satia
Raja. (lanjutan cerita ini akan menyangkut Rambey yang mengaku Lubis
nanti akan disambung dalam tulisan tersendiri sesuai versi Rambe).
Keterangan: 0 – 9 adalah menyatakan nomor generasi
gnr = generasi


Apakah penulis mengetahui garis keturunan Raja Torkis Rambe dari Sipiongot? Saya generasi ke-5 dari situ, setelah nya saya tidak tau lagi. Oia, raja anak raja torkis ini (ayah dari Kakek saya) pindah dari sipiongot ke daerah Arse.
BalasHapus